Selasa, 24 November 2009

Menghadapi Anak Keras Kepala

Oleh: Anisa Cahya Ningrum

Jurnal Nasional, 8 November 2009
MUNGKIN kita pernah merasakan, betapa jengkelnya hati ini ketika buah hati kita begitu gigih mempertahankan pendapatnya, dan tak mau mendengar pendapat orang lain, termasuk orang tuanya. “Nggak mau!! Pokoknya aku harus pergi sekarang. Aku bukan anak kecil lagi!”

Remaja sering kali melakukan perlawanan seperti ini, dan menunjukkan sikap keras kepala yang sulit untuk dilunakkan. Banyak orang tua yang kewalahan karena sang anak tidak peduli dengan perkataan orang lain, dan bersikuh untuk tidak mengubah pendapatnya.

Mengapa mereka berperilaku seperti itu? Pertama, hal ini memang merupakan proses perkembangan yang dialaminya.di masa remaja. Perilaku ini merupakan upaya mereka untuk menunjukkan eksistensi diri, bahwa mereka bisa mengambil keputusan sendiri, tanpa harus dipengaruhi oleh orang lain.

Selain itu, sikap keras kepala juga menunjukkan karakter seseorang yang tidak menyukai perubahan. Mereka khawatir, bahwa pengaruh orang lain akan mengubah konsep dirinya, dan pada gilirannya akan mengubah persepsi orang lain tentang dirinya. Mereka tidak ingin dianggap plin-plan, dan tidak punya pendirian.

Bisa jadi ini merupakan masalah psikologis yang secara internal terjadi dalam dirinya. Mereka ingin tetap berada dalam comfort zone, dan tidak ingin membiarkan orang lain mengganggu kenyamanannya.

Selain berkaitan dengan dirinya sendiri, sikap keras kepala juga bisa ditunjukkan oleh seorang anak, sebagai manifestasi perlawanan kepada orang yang dituju. Sebetulnya mungkin ia sependapat, tapi karena karena pendapat itu dikemukakan oleh ayahnya yang dinilainya otoriter, maka ia dengan sengaja menentangnya.

Yang jelas, mengajak berdebat dan mengkonfrontir pendapat mereka secara frontal, akan menjadi usaha yang sia-sia. Semakin ditentang, mereka akan semakin keras kepala dan semakin kokoh mempertahankan pendapatnya. Memang perlu upaya taktis untuk menghadapi remaja yang keras kepala.

Lakukan gerakan Fisik

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa posisi tubuh bisa mempengaruhi proses berpikir seseorang. Orang yang berdiri kaku, atau duduk dalam posisi yang menyesakkan, akan membuat otaknya tidak bisa bekerja optimal dan kondisi emosional menjadi tidak stabil.

Ketika menghadapi anak yang sedang emosional dan ngotot mempertahankan pendapatnya, cobalah meredakannya dengan mengganti posisi tubuhnya. Jika sedang duduk, ajaklah ia bergerak ke ruangan yang lain. Sebaliknya, bila ia berdiri dengan tegang, maka segera sentuh pundaknya, dan katakan dengan lembut, ”Ayo duduk dulu, mama mau dengar pendapatmu lebih jelas lagi.”

Gerakan tubuh ini dipercaya bisa meredakan gejolak emosional dan bisa membuka pikirannya yang terkunci. Akan lebih baik lagi bila ia didudukkan dekat dengan cermin, sehingga sepintas lalu ia bisa melihat ekspresi dirinya sendiri ketika sedang emosional. Dengan melihat dirinya sendiri di cermin diharapkan bisa menjadi pengontrol agar tidak berperilaku berlebihan.

”Setujui” Pendapatnya
Strategi menghadapi remaja yang keras kepala, sebetulnya bukan berarti untuk mengalahkan pendapat mereka, karena sebagai orang tua, kita memang tidak selalu benar, dan pendapat anak pun belum tentu salah.

Yang perlu kita upayakan adalah memperbaiki karakter agar tidak terlalu kaku dan bisa membuka diri terhadap pendapat orang lain. Untuk itu kita perlu melakukan persuasi dengan mengonsentrasikan pikiran kita pada pendapat yang diucapkannya. Cobalah untuk memahami latar belakang mengapa ia berpendapat demikian.

Tunjukkan bahwa pendapatnya cukup masuk akal dan ajak untuk mengurai hal-hal positif dan negatif dari pendapatnya tersebut. Setelah dia merasa bahwa pendapatnya didengar, baru kita bisa memberi informasi tambahan agar anak bisa melihat sudut pandang yang berbeda dengan emosi yang nyaman.

Tidak ada salahnya, kita tunjukkan bahwa sebagai orang tua kita juga pernah ”mendengar” dan ”menyetujui” pendapatnya. ”Oh ya, masih ingat kejadian sebulan yang lalu? Mama setuju dengan pendapatmu tentang renovasi gudang belakang itu. Idemu bagus, mama baru menyadarinya sekarang.” Anak perlu mendapat contoh langsung bahwa mendengar dan menyetujui pendapat orang lain bukanlah hal yang tabu dan memalukan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar