Selasa, 24 November 2009

Di Balik Pahitnya Pernikahan

Oleh: Sjifa Amori

Jurnal Nasional, 22 November 2009

PEMBERITAAN di televisi, khususnya soal kawin-cerai selebriti di infotainment, tanpa terkira mungkin saja berpotensi menanamkan kesadaran baru dalam kehidupan pernikahan. Bahwa bercerai adalah keputusan paling baik bagi semua pihak jika tak ada lagi kecocokan pada perkawinan. Lalu benarkah ini positif bagi semua pihak? Rupanya tidak juga, Debra Gwartney-lah yang mengungkapkan kerugian besar akibat perceraiannya, yaitu kehilangan anak-anaknya.

Gwartney, dalam bukunya Live Through This: Kekuatan Cinta Seorang Ibu, menuliskan memoar dirinya sebagai orang tua tunggal yang bermasalah, baik dengan dirinya maupun dengan anak-anaknya.

Merasa gagal dalam berumah tangga dengan empat anak perempuan yang masih kecil, Gwartney mencoba untuk memulai hidup baru dengan pindah ke wilayah lain Amerika Serikat. Hanya satu yang ada di pikiran Gwartney, menjauhkan anak-anak dari sang ayah. “Dad bilang kita nggak usah nurut apa kata Mommy,” kata Amanda. “Dad bilang kita boleh pergi kalau Mommy mulai berteriak.”

Amarah dan rasa muak Gwartney terhadap suaminya telah membuatnya hanya memikirkan emosi dan perasaannya sendiri. Yang ada di otak ibu keras hati ini adalah membuktikan pada Tom, suaminya, bahwa ia bisa menyelamatkan keluarganya sendirian. Dalam hatinya, semua adalah tentang persaingan dan pembuktian. Aku memikirkan tentang enam hadiah yang kubeli untuk masing-masing putriku dengan uang yang kutabung sepanjang tahun-musik yang aku tahu mereka inginkan, kaus longgar yang baru serta novel-novel-tanpa ada satu hadiah pun dari ayah mereka di bawah pohon Natal. Selama merencanakan minggu-minggu perayaan Natal, aku membiarkan diriku terlena: aku merasa akulah orang tua yang lebih perhatian, yang lebih peduli, yang ingin melestarikan tradisi dan ritual. Tapi sekarang aku tidak tahu lagi apakah aku ini. Ternyata aku hanya orang yang bodoh. Orang bodoh yang mengira bahwa inilah permainan yang dapat kumenangkan. Parahnya lagi: sedari awal aku menganggap ini sebuah permainan.

Ketika Gwartney si tokoh utama “terbangun” dari kesalahannya, semuanya sudah terlambat. Dua orang puterinya telanjur menjauhi dan memusuhinya. Bahkan menganggapnya sebagai orang yang akan membatasi kebebasan mereka. Sampai akhirnya keduanya memilih mengabaikan ibu mereka dan pergi menggelandang.

Amanda (14) dan Stephanie (13) yang sangat setia pada kakaknya itu lalu hidup sebagai anak jalanan. Mereka menindik bagian tubuh mereka yang bisa ditindik, mewarnai rambut, mengecat kuku, dan mengenakan riasan wajah yang mengerikan sebagai bentuk pembangkangan atas segala aturan yang dibuat orang tua.

Sesekali anak-anak itu datang kembali ke rumah secara diam-diam untuk mengambil perbekalan, meninggalkan baju kotor dan mengambil pakaian bersih, juga menggondol barang apa pun yang bisa mereka jual di jalanan. Herannya, meski ketahuan, Gwartney toh tak mampu membuat anaknya tetap tinggal di rumah. Pada satu waktu, Stephanie yang datang sendirian ditanyai oleh sang ibu mengapa ia mesti melakukan apa pun yang disuruh oleh kakaknya, Amanda.

Jawaban Stephanie sangat sinis dan tanpa maaf, seperti sengaja memberitahu pembaca betapa gagalnya tokoh utama menjadi seorang ibu meski ia mencoba dengan keras.

Putri keduanya itu hanya tertawa sambil menggelengkan kepala seolah yakin ibunya takkan memahami dirinya atau diri sendiri; “Aku tidak mau ribut denganmu sekarang. Amanda menungguku. Aku harus pergi. Amanda nggak akan bikin aku kecewa dan aku juga nggak bakalan bikin dia kecewa.”

Amanda dan Stephanie seperti memiliki hubungan simbiosis yang sangat intens sehingga mereka saling memahami apa yang seharusnya jadi pelampiasan kekesalan mereka atas keluarga yang tidak harmonis tersebut. Mencari “musuh” penyebab hancurnya hidup mereka yang hangat. Keduanya menyalahkan sang ibu sebagai satu-satunya pihak yang memecah belah keluarga.

Pelarian Amanda dan Stephanie bermula dari jalan-jalan dan lorong-lorong di kota mereka, lalu menjauh ke pinggiran kumuh dan jorok di San Francisco, sampai akhirnya menghilang tanpa jejak. Merasa menemukan ”kenyamanan” tersendiri di tengah-tengah budaya jalanan Eugene, Oregon. Kakak beradik ini akhirnya mulai betah meninggalkan rumah selama berhari-hari, kemudian berminggu-minggu. Sampai akhirnya berhasil menaiki kereta luar kota dan ”hilang” selama berbulan-bulan, bahkan setahun.

Selama masa ketiadaan dua putri tertuanya, Gwartney mencoba mencoba menjaga sisa keluarganya-ia dan kedua putrinya yang lebih kecil-agar tetap bersatu. Ia mengasuh anak, bekerja, menghabiskan uang untuk detektif swasta yang melacak dua anaknya, serta membiayai program rehabilitasi setelah anaknya ditemukan ‘“hingga kemudian kabur kembali-, membayar ahli terapi, dan juga sekolah swasta.

Ini adalah buku tentang keputusasaan dan keterpurukan, mengenai duka dan rasa bersalah, soal tanggung jawab dan kehilangan, tentang cinta dan amarah, juga mengenai pertanyaan-pertanyaan tak terjawab oleh ibu dan anak-anaknya yang dilontarkan langsung ke hadapan masing-masing dalam kondisi yang tak masuk akal.

Pembaca pun dibuat mengerti betapa tidak bergunanya sebuah pertanyaan dan tidak berartinya jawaban apa pun yang bisa dilontarkan. Penulis mengkronologiskan dengan detail keruntuhan keluarga dengan berbagai situasi yang memang secara murni terjadi sehingga mengikat emosi pembaca. Keadaan dimana tak seorang pun mungkin menemukan tindakan yang tepat untuk dilakukan.

Narasi Gwartney dengan lentur menggulirkan gambaran tentang perempuan yang berada di ujung emosinya, yaitu penyesalannya atas perceraian yang kemudian secara tak langsung terlampiaskan dan mempengaruhi anak-anaknya.

Buku setebal 351 halaman yang diterbitkan oleh Mahda Books ini bercerita tentang perjuangan Gwartney dalam merebut kembali cinta anak-anaknya yang cantik dan pintar itu kembali ke suasana nyaman di rumah.

Gwartney yang mengangkat kisah pedih masa lalunya itu “memotret” kehidupan jalanan Amerika yang penuh dengan kekerasan, bahaya narkoba, dan penampungan yanng kotor, dengan instensitas brilian. Pendekatannya amat keibuan dan sangat jujur, tetap merasa asing dan ”terancam”, meski tak gentar untuk mendatanginya satu demi satu untuk mencari putrinya.

Kisah Live Through This adalah drama ibu dan anak yang menyentuh. Mengajarkan bahwa komunikasi bisa sedemikian mandek dan keluar dari maksud awal sang pemberi pesan. Sering, Gwartney sebagai seorang ibu menunjukkan dirinya sebagai manusia biasa yang diselimuti emosi dan ego sehingga tak mampu bersikap melindungi dan malah memaksakan kehendak pada anak-anaknya yang masih kecil dan kehilangan pijakan hidup.

Yang membuat Live Through This milik Debra Gwarney begitu spesial adalah karena gaya literasinya yang presisi. Tulisannya dipenuhi kejujuran dan ia selalu mampu menggambarkan dengan apa adanya caranya bertahan melewati luka dan kehancuran hati hingga berujung pada lahirnya kasih sayang dan cinta, dan bukannya kepahitan hidup.

Gwartney adalah mantan reporter koran di Oregon yang juga pernah berkerja sebagai koresponden untuk majalah berita mingguan selama 10 tahun. Gwartney mengajar tentang penulisan di Portland State University. Gwartney adalah ibu dari empat anak perempuan dan menikah dengan penulis Barry Lopez.

Lewat buku ini, Gwartney sama sekali tidak menyalahkan atau membela seseorang, termasuk dirinya sendiri. Dengan gaya penulisan yang penuh kehati-hatian dan prosa yang sangat kalem, Gwartney menuturkan kisahnya dengan kerentanan yang menghancurkan hati dan juga ketulusan. Meski merupakan novel drama, buku ini bukan buku yang mudah dibaca karena menyangkut perasaan terdalam yang seringkali tidak ditampakkan orang tua kepada anaknya, juga sebaliknya. Tapi, Gwartney dengan apa adanya menelanjangi kegagalan dalam keluarganya sekaligus menginspirasi untuk menyusunnya kembali utuh. (*)

Judul : Live Through This; Kekuatan Cinta Seorang Ibu
Penulis : Debra Gwartney
Penerbit : Mahda Book
Tahun : 1, Agustus 2009
Tebal : 351 Halaman
ISBN: 978-979-19926-1-9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar