Oleh: Anisa Cahya Ningrum
ADAKAH sesuatu yang Anda ingat tentang sebuah peristiwa dahulu di masa kecil? Apakah peristiwa itu terasa begitu menyenangkan? Atau sebaliknya, Anda justru mengalami kejadian yang sangat menyakitkan?
Kita semua memiliki rekaman individual tentang masa lalu yang tersimpan rapi di dalam otak. Ada kisah-kisah indah yang menghiasi memori kita, hingga kita berusaha untuk mengenangnya sepanjang masa. Pengalaman tentang hadiah sepeda baru, misalnya. Atau pengalaman tak terlupakan ketika mendapat kesempatan membaca puisi di panggung perpisahan sekolah dasar.
Namun selain pengalaman yang menyenangkan, dalam perjalanan hidup, mungkin kita juga pernah merasakan sesuatu yang tidak menggembirakan, atau bahkan menyakitkan. Pernah dikurung di kamar yang gelap, misalnya. Rasa sesak napas dalam kegelapan itu mungkin masih bisa Anda rasakan sampai sekarang. Apalagi jika Anda juga mendengar kata-kata melengking, ”Dasar pemalas, bodoh! Mau jadi apa kamu?!” Sepertinya kalimat itu masih terngiang-ngiang di kedua telinga kita.
Memori Bawah Sadar
Pengalaman traumatis bisa kita alami secara fisik, mental maupun verbal. Ada yang meninggalkan bekas noda di badan, ada pula yang terasa begitu membekas di dalam hati. Banyak hal yang dengan sengaja ingin kita lupakan, namun ada pula kejadian yang begitu sulit untuk dihapuskan.
Hal ini cukup beralasan, karena setiap kejadian yang kita alami, semuanya akan terekam dengan baik di dalam otak. Semakin sering kita me-recall memori tersebut, maka akan semakin membekas di lipatan-lipatan otak. Dan bila kita mengalami sesuatu yang sangat menusuk jiwa dan raga kita, maka goresan di otak itu akan semakin tajam sehingga akan semakin terpatri dalam memori, meski kita sudah berusaha untuk melupakannya.
Begitulah proses penyimpanan peristiwa traumatis yang terjadi di dalam otak. Semakin dalam melukai, akan semakin sulit dihapuskan. Kalau toh kita memiliki usaha yang besar untuk melupakannya, namun biasanya rekaman itu tetap tersimpan dalam memori bawah sadar, dan akan memengaruhi kita dalam berperilaku sehari-hari.
Tidak banyak yang menyadari bawah perilaku kita lebih banyak dipengaruhi oleh pikiran bawah sadar kita. Hampir 88 persen perilaku, bahasa tubuh dan pilihan kata yang kita ucapkan adalah manifestasi dari pikiran bawah sadar.
Pikiran sadar, yang terlihat dari perilaku yang mempertimbangkan baik buruk, dan upaya menganalisis setiap hal, ternyata hanya berkontribusi hanya 12 persen saja dalam keseluruhan performa kita. Pikiran bawah sadar juga mendominasi seseorang ketika melakukan tindakan-tindakan spontan yang harus segera diantisipasi. Ketika merasa tersinggung, misalnya. Seseorang biasanya bereaksi secara spontan dengan cara-cara yang selama ini mereka pelajari di lingkungannya, sejak di masa kecil. Rekaman di masa lalu seolah memberi ”solusi” bahwa jika merasa tersinggung, kita harus segera membalasnya dengan ucapan yang setara, agar orang lain juga tahu betapa sakitnya yang kita rasakan.
Ramuan Kepribadian
Kini kita mengetahui bahwa apa yang kita alami di masa lalu, menjadi bagian dari keseluruhan kepribadian kita. Bahwa perlakuan dan ucapan-ucapan dari orang-orang di sekitar kita, ikut mewarnai karakter dan perilaku kita sehari-hari.
Kepribadian memang terbentuk dari berbagai unsur. Faktor genetis memang sulit untuk dielakkan kontribusinya. Bahkan beberapa penelitian medis menemukan bahwa bentuk otak seseorang juga menciptakan tumbuhnya bentuk-bentuk kepribadian tertentu.
Segala totalitas eksternal dan internal yang kita miliki menjadi ramuan kepribadian yang muncul dalam performa kita. Maka, jika kita ingin membuat ramuan kepribadian yang berkualitas bagi anak-anak, maka kita perlu menata perilaku dan ucapan yang lebih baik di depan mata mereka.
Jika kita ingin menciptakan generasi yang lebih baik, jangan beri pengalaman traumatis yang menyakitkan bagi anak-anak kita. Hindarkan perlakuan yang menyakiti fisiknya, dan pastikan tak ada kata-kata yang menyakitkan keluar dari mulut kita.
Hindarkan anak dari kejadian-kejadian yang menakutkan, dan menyakitkan, agar mereka tidak mengalami hal-hal traumatis yang akan membekas di otaknya. Beri mereka pengalaman yang menyenangkan, dan menenteramkan, sehingga mereka memiliki cara-cara yang tepat dalam menyelesaikan masalahnya.
Mereka tidak perlu menyakiti orang lain, karena di dalam otak dan pikiran bawah sadar mereka hanya merekam perlakuan menyenangkan dari orang-orang terdekatnya. Mereka tidak perlu melukai orang lain, karena tak ada jejak luka di tubuh dan jiwanya. Luka di tubuh bisa diobati, namun luka di jiwa tetap saja terukir di dalam hati. (Jurnal Nasional)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar