Minggu, 27 Juni 2010

Pinangan

Oleh: N. Syamsuddin CH. Haesy

MEMINANG gadis adalah keharusan, bagi seorang lelaki yang sudah cukup syarat untuk menikah. Meminang atau pinangan, pada ghalibnya merupakan bagian dari keseluruhan proses interaksi yang harus dilalui untuk menuju pernikahan. Dalam menyikapi pinangan, seorang ayah tidak bisa semena-mena memutuskan. Ia harus bertanya lebih dulu kepada gadisnya. Demikianlah adab yang diajarkan dan diteladani Rasulullah Muhammad SAW.

Adab, termasuk sopan santun di dalamnya, adalah faktor yang harus dipertimbangkan dalam meminang, agar orang tua dan gadis yang dipinang tidak tersinggung. Apalagi merasa dihinakan. Adab inilah yang menjadi prasyarat utama, bukan harta yang meruah.

Suatu ketika, Rasulullah Muhammad SAW marah, saat Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan datang kepadanya, meminang Fathimah, puteri kesayangannya. Pinangan itu ditolak. Fathimah sendiri, sebelumnya sudah menolak pinangan beberapa lelaki yang datang meminang. Ali bin Abi Thalib yang hidup di bawah asuhan Rasulullah SAW, berhasrat meminang Fathimah. Namun, ia enggan mengutarakannya. Ia paham kondisinya. Sejumlah sahabat Rasulullah SAW memotivasinya.

Umar bin Khattab berkata, “Wahai Ali, mengapa engkau tidak melamar Fathimah?” Ali terdiam. “Aku kuatir Rasulullah SAW tak mengizinkannya menikah denganku,” seru Ali. Lalu, Umar bilang, ”Bila Rasulullah SAW tak mengizinkannya, lalu siapa yang akan menikah dengan Fathimah? Engkaulah satu-satunya mahluk Allah yang paling dekat dengan Rasulullah SAW”.

Karena desakan para sahabat, akhirnya Ali meminang Fathimah. Ali tertunduk di hadapan Rasulullah SAW, menunjukkan akhlaknya yang mulia. “Wahai Rasulullah, aku ingin meminang Fathimah menjadi isteriku,” ungkap Ali. Rasulullah meningkah pinangan, itu. “Sebelum engkau, banyak laki-laki meminang puteriku, namun Fathimah menolak mereka. Tunggu jawabannya. Akan kusampaikan pinanganmu kepadanya,” seru Rasulullah.

Rasulullah menempatkan anak gadisnya sebagai subyek, yang menentukan pinangan diterima atau ditolak. Alasannya sangat kuat, karena kelak yang akan menjalani kehidupan keluarga dan rumah tangga adalah puterinya itu. Dengan demikian, pernyataan kesediaan atau penolakan dari puterinya, adalah wajib. Mengabaikan hal itu, sama halnya dengan mengabaikan hak perempuan, dan melecehkan kepribadian perempuan sebagai ‘ibu manusia‘.

Dalam bukunya: The True Story of Muhammad and Khadijah‘s Beloved Daughter, Muhammad Amin mengisahkan momen pinangan yang penuh akhlak itu. Diungkapkan, Rasulullah menyampaikan pinangan Ali kepada Fathimah.

Kepada puterinya, Rasulullah SAW berkata, ”Fathimah, engkau tahu hubungan Ali bin Abi Thalib dengan keluarga kita. Juga pengabdian dan kesetiaannya kepada Islam. Aku memohon kepada Allah, agar Dia menikahkanmu dengan pria terbaik dari segenap makhluk-Nya, dan yang terkasih bagi-Nya. Ali ingin menikahimu. Bagaimana pendapatmu?”

Fathimah diam, namun tidak menolak seperti sebelum-sebelumnya. Melihat reaksi seperti itu, Rasulullah SAW kontan bertakbir: “Allaahu Akbar! Diamnya adalah persetujuannya”. Bagi gadis berakhlak mulia seperti Fathimah, diam adalah pernyataan nilai.

Kemudian Rasulullah SAW kembali kepada Ali dan bertanya tentang mahar. Rasulullah terdiam, saat Ali menyatakan, “Semoga kedua orang-tuaku menjadi penebus bagi Anda. Demi Allah, tiada urusanku yang tersembunyi darimu, wahai Rasulullah. Aku memiliki pedang, baju besi, dan unta yang kugunakan untuk menyirami pepohonan.”

Lalu, Rasulullah meminta Ali menjual Hadimah, baju besi pemberian Rasulullah SAW di saat perang badr, dan uangnya -- sebesar 500 dirham -- dipergunakan sebagai mahar. Fathimah menerima mahar itu dengan sukacita.

Kepada ayahnya, ia berkata, ”Wahai Rasulullah, gadis-gadis terbiasa meminta uang sebagai mahar. Aku berbeda dengan mereka. Aku meminta dengan hormat kepadamu, agar mengembalikan mahar itu, dan berdo‘a kepada Allah, agar menjadikan maharku sebagai hak memberi syafaat kepada mereka yang berdosa di kalangan muslimin.”

Rasulullah mengatur penggunaan uang itu. Sepertiga untuk kebutuhan rumah tangga, sepertiga untuk wewangian dan aksesoris pesta pernikahan, dan sepertiga diberikan kepada Ummu Salamah sebagai biaya jamuan makan para tamu yang menghadiri perhelatan pernikahan Ali dengan Fathimah. (Jurnal Nasional)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar