Oleh: Anisa Cahya Ningrum
Jurnal Nasional, 22 November 2009
BOCAH kecil itu berdiri tegak di depan toko mainan. Matanya tajam tertuju pada sebuah mobil-mobilan berwarna hijau tua yang sedang dimainkan oleh penjaganya. Bujuk rayu ibunya untuk menunda membeli benda itu tak digubrisnya sama sekali. Sang ibu pun semakin kesal, dan berusaha menarik tangannya dengan kuat, ”Ayo pulang, nggak usah beli mainan”.
Bocah itu tetap bertahan dan tak mau beranjak dari tempatnya. Tangisnya pun mulai pecah dan bahkan ia berguling-guling di lantai mal, sambil berteriak-teriak, ”Mama jahat. Mama pelit!” Suaranya melengking dan terasa menyakitkan di telinga ibunya. Apalagi para pengunjung mal cukup padat, sehingga dengan jelas mereka bisa mendengar dan melihat semua kelakuan anaknya yang memalukan itu. Rasanya sulit untuk menyembunyikan muka dari tatapan mata orang-orang tersebut.
Kejadian seperti ini mungkin banyak terjadi di sekeliling kita, atau bahkan kita sendiri mungkin pernah mengalaminya. Ini adalah perilaku tantrum, yang biasa terjadi pada anak-anak di usia balita. Tantrum adalah sebuah ekspresi perasaan, di mana seorang anak mengalami ledakan emosi yang tak terkendalikan.
Tantrum bisa terjadi karena anak mengalami frustrasi, lelah , lapar, sakit, atau marah karena keinginannya tidak segera terpenuhi. Tantrum juga bisa muncul karena kecemburuan, tekanan fisik dan mental, serta perasaan yang tidak aman.
Munculnya kemarahan dan emosi yang meledak ini juga terjadi karena anak tidak mampu mengenali keadaan dirinya, dan tidak bisa mengomunikasikan atau mengungkapkan perasaan dan keinginannya dengan kata-kata yang tepat.
Bentuk ekspresi yang muncul sering kali berupa teriakan, tangisan, dan gerakan-gerakan destruktif baik pada diri sendiri, orang lain, maupun benda-benda di sekitarnya. Ada juga anak yang mengekspresikannya dengan mengucapkan kata-kata kasar, menggigit, atau mengancam.
Ada beberapa reaksi yang dilakukan oleh orang tua untuk menghadapinya. Mereka biasanya akan panik tegang dan ikut terbawa emosi dengan semakin memarahinya, atau menghukumnya. Namun ada juga orang tua yang malu, kasihan, dan tidak tahan, sehingga kemudian mereka menyerah dan menyetujui keinginan anaknya.
Lebih Baik Mencegah
Mana yang paling efektif untuk dilakukan dalam menghadapi anak yang sedang tantrum ini? Perlu kita sadari bahwa perilaku negatif ini bisa muncul karena proses yang dipelajari dari lingkungannya. Selain faktor temperamen yang memang sudah dimiliki anak, perilaku tantrum merupakan reaksi dari perilaku orang-orang di sekitarnya.
Sejak dini kita perlu mewaspadai gejala-gejala awal yang bisa memicu tantrum. Ketika anak sudah mulai rewel, merengek, atau bahkan berusaha melepaskan diri dari pelukan, maka kita harus segera melakukan sesuatu tindakan agar tidak sampai terjadi ledakan perasaan.
Ada baiknya kita hindarkan dia dari pemicunya atau kita alihkan perhatiannya. Kita perlu mengajak anak untuk mengenali gejolak emosinya sendiri, dan mengarahkannya untuk belajar mengendalikan diri, ”Kelihatannya kamu marah ya? Wajahmu sudah memerah dan berkeringat. Sini mama peluk! Atau mau bersandar di sini?”
Upaya Mengatasi
Jika anak sudah tidak bisa mengendalikan diri, kita perlu upaya segera untuk mengatasinya. Yang pertama adalah bersikap tenang dan tidak tersulut untuk terbawa dalam kemarahan. Jika kita memarahi, membentak, dan menghukum anak, maka pada akhirnya anak akan belajar bahwa melampiaskan emosi dengan cara membentak orang lain adalah cara yang benar, karena orang tuanya juga melakukannya.
Langsung menyerah pada keinginan anak juga bukan cara yang disarankan, karena solusi ini hanya akan memberi keberhasilan sesaat. Anak memang akan menghentikan perilaku tantrumnya, tapi pada saat yang sama dia memperoleh pelajaran baru bahwa orang tuanya bisa dikendalikan dengan cara-cara tersebut. Di lain waktu, ia akan melakukannya lagi untuk mendapatkan keinginannnya.
Kita perlu memastikan bahwa kita bisa mengendalikan diri terlebih dahulu, sebelum bisa mengendalikan emosi anak. ”Mama tahu kamu kesal tidak boleh mengacak-acak makanan di meja makan, tapi peraturan di rumah ini, kita harus menghargai makanan dan makan dengan sopan. Mama tunggu sampai kamu berhenti menangis, dan mama siapkan makanan untukmu”. Bersikaplah tenang dan tegas, tidak perlu khawatir dengan rengekannya.
Pentingnya Konsistensi
Usaha untuk mengontrol emosi dan mendisiplinkan perilaku anak memang membutuhkan perencanaan dan konsistensi. Kita perlu meyakini bahwa aturan yang kita buat adalah benar dan harus ditegakkan.
Menunjukkan konsistensi sikap bukan berarti bersikap tak acuh atau menunjukkan ekspresi kebencian. Sambil mengucapkan kalimat yang tegas, berikan sedikit sentuhan pada tangan atau rambutnya, agar anak mendapat sinyal bahwa sebenarnya orang tua tetap menyayanginya, meski tidak menuruti keinginannya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar