Minggu, 29 November 2009

Melamar di ‘Udara‘


Jurnal Nasional, 29 November 2009

BINTANG pop Inggris Robbie Williams mengguncang Australia dengan melamar pacarnya yang aktris Amerika di sela-sela wawancara dengan sebuah radio di Sydney, kemarin WIB. Mantan personel boyband, Take That yang berada di Australia sehubungan dengan comeback-nya ini, ditanya oleh penyiar Jackie O seputar pasangannya Ayda Field. Jackie O mengatakan Sydney dikenal sebagai tempat para selebriti melamar pasangannya.


"Apakah ada seseorang yang akan kamu nikahi?" tanya Jackie O, namun Robbie hanya tertawa. "Ini sangat aneh," ujar Field menimpali. "Apakah kamu bersedia menikah denganku?" ucap Robbie. Field pun menjawab,”Ya, saya akan menikah denganmu. Tapi mana cincinnya?” Robbie tak hilang akal dia meminjam cincin pada Jackie O dan menyelipkan di jari manis Field sambil mengulang lamarannya. "Ayda Field, saya sangat mencintai kamu. Apakah kamu mau mengikat janji setia denganku sampai akhir hayat?"


Kontan para pendengar acara tersebut menelpon ke stasiun radio tersebut untuk memberikan ucapan selamat kepada Robbie dan Field. Pasangan ini berkenalan lewat kencan buta yang diatur teman Robbie. Awalnya, Robbie tidak menyukai Field, tapi lama kelamaan hatinya luluh juga. (AFP/Luhung S Nugroho)


Perawatan Menjelang Pernikahan

Oleh: Wuri Kartiasih

Jurnal Nasional, 29 November 2009
HARI pernikahan merupakan suatu peristiwa yang sangat dinantikan setiap pasangan. Oleh karena itu tidak heran bila persiapan pernikahan sudah dilakukan jauh-jauh hari. Tujuannya supaya pada hari pernikahan semua acara berjalan dengan lancar dan sukses. Biasanya mempelai wanita, melakukan beragam perawatan tubuh agar saat hari pernikahannya tampil cantik dan segar, atau yang kerap dikatakan oleh jurus rias pengantin dengan istilah manglingi.

Meski menjaga penampilan diri lazim dilakukan oleh kaum Hawa, kaum Adam pun tidak dilarang melakukannya. Dengan merawat diri sebelum menikah, dijamin mempelai pria akan merasakan manfaatnya. Jadi baik Anda dan pasangan, dapat melakukan pra wedding treatment berdua. Perawatan yang dapat dilakukan seperti luluran, pijat, dan facial.

Luluran dapat dilakukan seminggu sekali dengan menggunakan lulur yang banyak dijual di pasaran. Dengan luluran bisa mengangkat sel-sel kulit mati, sehingga kulit menjadi bercahaya dan bersih. Biasanya pada saat luluran disertai dengan pemijatan untuk melancarkan peredaran darah.

Selanjutnya facial dan penggunaan masker wajah. bertujuan untuk membersihkan wajah dari jerawat, merawat wajah agar tetap segar sehingga pada saat hari pernikahan muka tidak mudah berminyak dan make up tahan lama.

Perawatan rambut seperti creambath sebaiknya dilakukan rutin seminggu sekali supaya rambut terawat indah dan mudah ditata. Selain itu, kepala jadi lebih rileks karena pemijatan pada saat creambath.

Beberapa perias biasanya menyediakan paket ini lengkap mulai dari luluran, ratus, sampai minum jamu-jamuan. Para perias pengantin biasanya meminta mempelai melakukan puasa Senin-Kamis dan mengurangi makan garam agar wajah bersinar dan manglingi.

Untuk perawatan sehari-hari, mempelai wanita dan pria bisa melakukan perawatan wajah, mata, dan bibir. Untuk perawatan wajah, kulit wajah yang sehat merupakan faktor penunjang utama untuk penampilan tata rias wajah yang sempurna. Kuncinya tentu saja pada perawatan rutin di rumah.

Penggunaan krim pembersih dapat membantu memperlancar peredaran darah dan mengencangkan otot-otot halus pada kulit wajah. Lakukan ini secara teratur pagi dan malam sepulang kerja. Beberapa make-up artist berpendapat banyak yang mengatakan bahwa mereka lebih suka berkonsentrasi pada bagian mata karena jika hasil riasan mata bagus, klien akan tampak lebih cantik.

Di luar keberhasilan riasan bagian mata, mata yang sehat, jernih, dan bercahaya adalah kunci utama dari riasan. Biasanya riasan pada bagian mata lebih berbicara. Untuk itu rajin-rajinlah mencuci muka, membersihkan riasan mata, dan sesekali membubuhkan krem khusus pada bagian mata sambil melakukan pijatan lembut untuk melancarkan peredaran darah di sekitar daerah mata. Jangan lupa memperhatikan kebersihan alat-alat rias secara berkala.

Ketika acara tengah berlangsung, senyuman akan sering ditebarkan kepada undangan yang hadir untuk mengungkapkan perasaan bahagia. Walau tertutupi lapisan pemulas bibir, namun bibir yang sehat tetap layak Anda miliki. Bibir yang sehat berawal dari kebiasaan membersihkan kulit bibir di rumah sehabis menggunakan lipstick. Sisa lipstick dapat dibersihkan dengan krim pembersih wajah atau baby lotion.

Untuk yang sering melakukan aktivitas di luar ruangan atau yang sering berada di ruangan ber-AC jangan lupa untuk memberikan sapuan lipglos agar bibir tidak kering dan pecah-pecah.Untuk menjaga kelembaban kulit bibir, sesekali Anda bisa mengoleskan masker dari bahan-bahan alami seperti madu. So, kini Anda telah memiliki tubuh yang bugar untuk menyambut hari pernikahan, meskipun kesibukan mengurus pernikahan masih menumpuk. Yang pasti selain menjaga makanan jangan lupa untuk selalu beristirahat secara teratur. (*)

Selasa, 24 November 2009

Di Balik Pahitnya Pernikahan

Oleh: Sjifa Amori

Jurnal Nasional, 22 November 2009

PEMBERITAAN di televisi, khususnya soal kawin-cerai selebriti di infotainment, tanpa terkira mungkin saja berpotensi menanamkan kesadaran baru dalam kehidupan pernikahan. Bahwa bercerai adalah keputusan paling baik bagi semua pihak jika tak ada lagi kecocokan pada perkawinan. Lalu benarkah ini positif bagi semua pihak? Rupanya tidak juga, Debra Gwartney-lah yang mengungkapkan kerugian besar akibat perceraiannya, yaitu kehilangan anak-anaknya.

Gwartney, dalam bukunya Live Through This: Kekuatan Cinta Seorang Ibu, menuliskan memoar dirinya sebagai orang tua tunggal yang bermasalah, baik dengan dirinya maupun dengan anak-anaknya.

Merasa gagal dalam berumah tangga dengan empat anak perempuan yang masih kecil, Gwartney mencoba untuk memulai hidup baru dengan pindah ke wilayah lain Amerika Serikat. Hanya satu yang ada di pikiran Gwartney, menjauhkan anak-anak dari sang ayah. “Dad bilang kita nggak usah nurut apa kata Mommy,” kata Amanda. “Dad bilang kita boleh pergi kalau Mommy mulai berteriak.”

Amarah dan rasa muak Gwartney terhadap suaminya telah membuatnya hanya memikirkan emosi dan perasaannya sendiri. Yang ada di otak ibu keras hati ini adalah membuktikan pada Tom, suaminya, bahwa ia bisa menyelamatkan keluarganya sendirian. Dalam hatinya, semua adalah tentang persaingan dan pembuktian. Aku memikirkan tentang enam hadiah yang kubeli untuk masing-masing putriku dengan uang yang kutabung sepanjang tahun-musik yang aku tahu mereka inginkan, kaus longgar yang baru serta novel-novel-tanpa ada satu hadiah pun dari ayah mereka di bawah pohon Natal. Selama merencanakan minggu-minggu perayaan Natal, aku membiarkan diriku terlena: aku merasa akulah orang tua yang lebih perhatian, yang lebih peduli, yang ingin melestarikan tradisi dan ritual. Tapi sekarang aku tidak tahu lagi apakah aku ini. Ternyata aku hanya orang yang bodoh. Orang bodoh yang mengira bahwa inilah permainan yang dapat kumenangkan. Parahnya lagi: sedari awal aku menganggap ini sebuah permainan.

Ketika Gwartney si tokoh utama “terbangun” dari kesalahannya, semuanya sudah terlambat. Dua orang puterinya telanjur menjauhi dan memusuhinya. Bahkan menganggapnya sebagai orang yang akan membatasi kebebasan mereka. Sampai akhirnya keduanya memilih mengabaikan ibu mereka dan pergi menggelandang.

Amanda (14) dan Stephanie (13) yang sangat setia pada kakaknya itu lalu hidup sebagai anak jalanan. Mereka menindik bagian tubuh mereka yang bisa ditindik, mewarnai rambut, mengecat kuku, dan mengenakan riasan wajah yang mengerikan sebagai bentuk pembangkangan atas segala aturan yang dibuat orang tua.

Sesekali anak-anak itu datang kembali ke rumah secara diam-diam untuk mengambil perbekalan, meninggalkan baju kotor dan mengambil pakaian bersih, juga menggondol barang apa pun yang bisa mereka jual di jalanan. Herannya, meski ketahuan, Gwartney toh tak mampu membuat anaknya tetap tinggal di rumah. Pada satu waktu, Stephanie yang datang sendirian ditanyai oleh sang ibu mengapa ia mesti melakukan apa pun yang disuruh oleh kakaknya, Amanda.

Jawaban Stephanie sangat sinis dan tanpa maaf, seperti sengaja memberitahu pembaca betapa gagalnya tokoh utama menjadi seorang ibu meski ia mencoba dengan keras.

Putri keduanya itu hanya tertawa sambil menggelengkan kepala seolah yakin ibunya takkan memahami dirinya atau diri sendiri; “Aku tidak mau ribut denganmu sekarang. Amanda menungguku. Aku harus pergi. Amanda nggak akan bikin aku kecewa dan aku juga nggak bakalan bikin dia kecewa.”

Amanda dan Stephanie seperti memiliki hubungan simbiosis yang sangat intens sehingga mereka saling memahami apa yang seharusnya jadi pelampiasan kekesalan mereka atas keluarga yang tidak harmonis tersebut. Mencari “musuh” penyebab hancurnya hidup mereka yang hangat. Keduanya menyalahkan sang ibu sebagai satu-satunya pihak yang memecah belah keluarga.

Pelarian Amanda dan Stephanie bermula dari jalan-jalan dan lorong-lorong di kota mereka, lalu menjauh ke pinggiran kumuh dan jorok di San Francisco, sampai akhirnya menghilang tanpa jejak. Merasa menemukan ”kenyamanan” tersendiri di tengah-tengah budaya jalanan Eugene, Oregon. Kakak beradik ini akhirnya mulai betah meninggalkan rumah selama berhari-hari, kemudian berminggu-minggu. Sampai akhirnya berhasil menaiki kereta luar kota dan ”hilang” selama berbulan-bulan, bahkan setahun.

Selama masa ketiadaan dua putri tertuanya, Gwartney mencoba mencoba menjaga sisa keluarganya-ia dan kedua putrinya yang lebih kecil-agar tetap bersatu. Ia mengasuh anak, bekerja, menghabiskan uang untuk detektif swasta yang melacak dua anaknya, serta membiayai program rehabilitasi setelah anaknya ditemukan ‘“hingga kemudian kabur kembali-, membayar ahli terapi, dan juga sekolah swasta.

Ini adalah buku tentang keputusasaan dan keterpurukan, mengenai duka dan rasa bersalah, soal tanggung jawab dan kehilangan, tentang cinta dan amarah, juga mengenai pertanyaan-pertanyaan tak terjawab oleh ibu dan anak-anaknya yang dilontarkan langsung ke hadapan masing-masing dalam kondisi yang tak masuk akal.

Pembaca pun dibuat mengerti betapa tidak bergunanya sebuah pertanyaan dan tidak berartinya jawaban apa pun yang bisa dilontarkan. Penulis mengkronologiskan dengan detail keruntuhan keluarga dengan berbagai situasi yang memang secara murni terjadi sehingga mengikat emosi pembaca. Keadaan dimana tak seorang pun mungkin menemukan tindakan yang tepat untuk dilakukan.

Narasi Gwartney dengan lentur menggulirkan gambaran tentang perempuan yang berada di ujung emosinya, yaitu penyesalannya atas perceraian yang kemudian secara tak langsung terlampiaskan dan mempengaruhi anak-anaknya.

Buku setebal 351 halaman yang diterbitkan oleh Mahda Books ini bercerita tentang perjuangan Gwartney dalam merebut kembali cinta anak-anaknya yang cantik dan pintar itu kembali ke suasana nyaman di rumah.

Gwartney yang mengangkat kisah pedih masa lalunya itu “memotret” kehidupan jalanan Amerika yang penuh dengan kekerasan, bahaya narkoba, dan penampungan yanng kotor, dengan instensitas brilian. Pendekatannya amat keibuan dan sangat jujur, tetap merasa asing dan ”terancam”, meski tak gentar untuk mendatanginya satu demi satu untuk mencari putrinya.

Kisah Live Through This adalah drama ibu dan anak yang menyentuh. Mengajarkan bahwa komunikasi bisa sedemikian mandek dan keluar dari maksud awal sang pemberi pesan. Sering, Gwartney sebagai seorang ibu menunjukkan dirinya sebagai manusia biasa yang diselimuti emosi dan ego sehingga tak mampu bersikap melindungi dan malah memaksakan kehendak pada anak-anaknya yang masih kecil dan kehilangan pijakan hidup.

Yang membuat Live Through This milik Debra Gwarney begitu spesial adalah karena gaya literasinya yang presisi. Tulisannya dipenuhi kejujuran dan ia selalu mampu menggambarkan dengan apa adanya caranya bertahan melewati luka dan kehancuran hati hingga berujung pada lahirnya kasih sayang dan cinta, dan bukannya kepahitan hidup.

Gwartney adalah mantan reporter koran di Oregon yang juga pernah berkerja sebagai koresponden untuk majalah berita mingguan selama 10 tahun. Gwartney mengajar tentang penulisan di Portland State University. Gwartney adalah ibu dari empat anak perempuan dan menikah dengan penulis Barry Lopez.

Lewat buku ini, Gwartney sama sekali tidak menyalahkan atau membela seseorang, termasuk dirinya sendiri. Dengan gaya penulisan yang penuh kehati-hatian dan prosa yang sangat kalem, Gwartney menuturkan kisahnya dengan kerentanan yang menghancurkan hati dan juga ketulusan. Meski merupakan novel drama, buku ini bukan buku yang mudah dibaca karena menyangkut perasaan terdalam yang seringkali tidak ditampakkan orang tua kepada anaknya, juga sebaliknya. Tapi, Gwartney dengan apa adanya menelanjangi kegagalan dalam keluarganya sekaligus menginspirasi untuk menyusunnya kembali utuh. (*)

Judul : Live Through This; Kekuatan Cinta Seorang Ibu
Penulis : Debra Gwartney
Penerbit : Mahda Book
Tahun : 1, Agustus 2009
Tebal : 351 Halaman
ISBN: 978-979-19926-1-9

The 19th Wife

Oleh: Sjifa Amori

Jurnal Nasional, 22 November 2009

PADA 1875 Ann Eliza Young menulis sebuah memoar yang sangat menggegerkan Amerika, Wife No. 19 yang memaparkan hidupnya sebagai istri ke-19 Brigham Young, pemimpin gereja Latter Day Saint (LDS). Tak pelak, memoarnya itu membuat beberapa pihak merasa panas. Kemudian, muncul beberapa tulisan balasan yang bertujuan menangkis tuduhan tersebut.

Melalui the 19th Wife, David Ebershoff mencoba mengangkat kembali masalah poligami di Amerika yang tak kunjung usai. Dipadukan dengan kisah pembunuhan yang terjadi di dalam lingkungan penganut LDS, novel ini mengungkapkan betapa keyakinan merupakan sebuah misteri yang tak mudah untuk dipahami.

Novel ambisius ketiga karya Ebershoff ini menceritakan dua kisah poligami pararel. Yang pertama fokus pada Bringham Young yang membuang salah satu istrinya, Ann Eliza, dari Mormon Church; yang kedua adalah misteri pembunuhan modern dengan setting poligami di Utah.

Dengan menggunakan variasi bentuk naratif yang mengesankan ‘“memuat data dari Wikipedia, paper riset akademis, potongan opini di koran- memoar ini menjadi sebuah kisah yang mengandung detail sejarah yang menarik.

Kemudian ada pula bagian memukau seperti misalnya fakta bahwa Brigham Young melarang pementasan drama yang memainkan lakon monogami yang terlalu diromantiskan. Seperti yang dikatakan salah seorang pengikut Young: “Saya tak akan duduk menonton lakon di mana laki-laki terlalau meributkan perasaannya terhadap seorang perempuan.” The New Yorker menulis kalau Ebershoff mendemonstrasikan kejeniusan utuh. (*)

Data Buku :
Judul: The 19th Wife
Penulis:David Ebbershoff
Penerbit:Bentang Pustaka
ISBN:978-979-1227-76-6

Menghadapi Tantrum pada Balita

Oleh: Anisa Cahya Ningrum

Jurnal Nasional, 22 November 2009
BOCAH kecil itu berdiri tegak di depan toko mainan. Matanya tajam tertuju pada sebuah mobil-mobilan berwarna hijau tua yang sedang dimainkan oleh penjaganya. Bujuk rayu ibunya untuk menunda membeli benda itu tak digubrisnya sama sekali. Sang ibu pun semakin kesal, dan berusaha menarik tangannya dengan kuat, ”Ayo pulang, nggak usah beli mainan”.

Bocah itu tetap bertahan dan tak mau beranjak dari tempatnya. Tangisnya pun mulai pecah dan bahkan ia berguling-guling di lantai mal, sambil berteriak-teriak, ”Mama jahat. Mama pelit!” Suaranya melengking dan terasa menyakitkan di telinga ibunya. Apalagi para pengunjung mal cukup padat, sehingga dengan jelas mereka bisa mendengar dan melihat semua kelakuan anaknya yang memalukan itu. Rasanya sulit untuk menyembunyikan muka dari tatapan mata orang-orang tersebut.

Kejadian seperti ini mungkin banyak terjadi di sekeliling kita, atau bahkan kita sendiri mungkin pernah mengalaminya. Ini adalah perilaku tantrum, yang biasa terjadi pada anak-anak di usia balita. Tantrum adalah sebuah ekspresi perasaan, di mana seorang anak mengalami ledakan emosi yang tak terkendalikan.

Tantrum bisa terjadi karena anak mengalami frustrasi, lelah , lapar, sakit, atau marah karena keinginannya tidak segera terpenuhi. Tantrum juga bisa muncul karena kecemburuan, tekanan fisik dan mental, serta perasaan yang tidak aman.

Munculnya kemarahan dan emosi yang meledak ini juga terjadi karena anak tidak mampu mengenali keadaan dirinya, dan tidak bisa mengomunikasikan atau mengungkapkan perasaan dan keinginannya dengan kata-kata yang tepat.

Bentuk ekspresi yang muncul sering kali berupa teriakan, tangisan, dan gerakan-gerakan destruktif baik pada diri sendiri, orang lain, maupun benda-benda di sekitarnya. Ada juga anak yang mengekspresikannya dengan mengucapkan kata-kata kasar, menggigit, atau mengancam.

Ada beberapa reaksi yang dilakukan oleh orang tua untuk menghadapinya. Mereka biasanya akan panik tegang dan ikut terbawa emosi dengan semakin memarahinya, atau menghukumnya. Namun ada juga orang tua yang malu, kasihan, dan tidak tahan, sehingga kemudian mereka menyerah dan menyetujui keinginan anaknya.

Lebih Baik Mencegah
Mana yang paling efektif untuk dilakukan dalam menghadapi anak yang sedang tantrum ini? Perlu kita sadari bahwa perilaku negatif ini bisa muncul karena proses yang dipelajari dari lingkungannya. Selain faktor temperamen yang memang sudah dimiliki anak, perilaku tantrum merupakan reaksi dari perilaku orang-orang di sekitarnya.

Sejak dini kita perlu mewaspadai gejala-gejala awal yang bisa memicu tantrum. Ketika anak sudah mulai rewel, merengek, atau bahkan berusaha melepaskan diri dari pelukan, maka kita harus segera melakukan sesuatu tindakan agar tidak sampai terjadi ledakan perasaan.

Ada baiknya kita hindarkan dia dari pemicunya atau kita alihkan perhatiannya. Kita perlu mengajak anak untuk mengenali gejolak emosinya sendiri, dan mengarahkannya untuk belajar mengendalikan diri, ”Kelihatannya kamu marah ya? Wajahmu sudah memerah dan berkeringat. Sini mama peluk! Atau mau bersandar di sini?”

Upaya Mengatasi
Jika anak sudah tidak bisa mengendalikan diri, kita perlu upaya segera untuk mengatasinya. Yang pertama adalah bersikap tenang dan tidak tersulut untuk terbawa dalam kemarahan. Jika kita memarahi, membentak, dan menghukum anak, maka pada akhirnya anak akan belajar bahwa melampiaskan emosi dengan cara membentak orang lain adalah cara yang benar, karena orang tuanya juga melakukannya.

Langsung menyerah pada keinginan anak juga bukan cara yang disarankan, karena solusi ini hanya akan memberi keberhasilan sesaat. Anak memang akan menghentikan perilaku tantrumnya, tapi pada saat yang sama dia memperoleh pelajaran baru bahwa orang tuanya bisa dikendalikan dengan cara-cara tersebut. Di lain waktu, ia akan melakukannya lagi untuk mendapatkan keinginannnya.

Kita perlu memastikan bahwa kita bisa mengendalikan diri terlebih dahulu, sebelum bisa mengendalikan emosi anak. ”Mama tahu kamu kesal tidak boleh mengacak-acak makanan di meja makan, tapi peraturan di rumah ini, kita harus menghargai makanan dan makan dengan sopan. Mama tunggu sampai kamu berhenti menangis, dan mama siapkan makanan untukmu”. Bersikaplah tenang dan tegas, tidak perlu khawatir dengan rengekannya.

Pentingnya Konsistensi
Usaha untuk mengontrol emosi dan mendisiplinkan perilaku anak memang membutuhkan perencanaan dan konsistensi. Kita perlu meyakini bahwa aturan yang kita buat adalah benar dan harus ditegakkan.

Menunjukkan konsistensi sikap bukan berarti bersikap tak acuh atau menunjukkan ekspresi kebencian. Sambil mengucapkan kalimat yang tegas, berikan sedikit sentuhan pada tangan atau rambutnya, agar anak mendapat sinyal bahwa sebenarnya orang tua tetap menyayanginya, meski tidak menuruti keinginannya. (*)

Menghadapi Anak Keras Kepala

Oleh: Anisa Cahya Ningrum

Jurnal Nasional, 8 November 2009
MUNGKIN kita pernah merasakan, betapa jengkelnya hati ini ketika buah hati kita begitu gigih mempertahankan pendapatnya, dan tak mau mendengar pendapat orang lain, termasuk orang tuanya. “Nggak mau!! Pokoknya aku harus pergi sekarang. Aku bukan anak kecil lagi!”

Remaja sering kali melakukan perlawanan seperti ini, dan menunjukkan sikap keras kepala yang sulit untuk dilunakkan. Banyak orang tua yang kewalahan karena sang anak tidak peduli dengan perkataan orang lain, dan bersikuh untuk tidak mengubah pendapatnya.

Mengapa mereka berperilaku seperti itu? Pertama, hal ini memang merupakan proses perkembangan yang dialaminya.di masa remaja. Perilaku ini merupakan upaya mereka untuk menunjukkan eksistensi diri, bahwa mereka bisa mengambil keputusan sendiri, tanpa harus dipengaruhi oleh orang lain.

Selain itu, sikap keras kepala juga menunjukkan karakter seseorang yang tidak menyukai perubahan. Mereka khawatir, bahwa pengaruh orang lain akan mengubah konsep dirinya, dan pada gilirannya akan mengubah persepsi orang lain tentang dirinya. Mereka tidak ingin dianggap plin-plan, dan tidak punya pendirian.

Bisa jadi ini merupakan masalah psikologis yang secara internal terjadi dalam dirinya. Mereka ingin tetap berada dalam comfort zone, dan tidak ingin membiarkan orang lain mengganggu kenyamanannya.

Selain berkaitan dengan dirinya sendiri, sikap keras kepala juga bisa ditunjukkan oleh seorang anak, sebagai manifestasi perlawanan kepada orang yang dituju. Sebetulnya mungkin ia sependapat, tapi karena karena pendapat itu dikemukakan oleh ayahnya yang dinilainya otoriter, maka ia dengan sengaja menentangnya.

Yang jelas, mengajak berdebat dan mengkonfrontir pendapat mereka secara frontal, akan menjadi usaha yang sia-sia. Semakin ditentang, mereka akan semakin keras kepala dan semakin kokoh mempertahankan pendapatnya. Memang perlu upaya taktis untuk menghadapi remaja yang keras kepala.

Lakukan gerakan Fisik

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa posisi tubuh bisa mempengaruhi proses berpikir seseorang. Orang yang berdiri kaku, atau duduk dalam posisi yang menyesakkan, akan membuat otaknya tidak bisa bekerja optimal dan kondisi emosional menjadi tidak stabil.

Ketika menghadapi anak yang sedang emosional dan ngotot mempertahankan pendapatnya, cobalah meredakannya dengan mengganti posisi tubuhnya. Jika sedang duduk, ajaklah ia bergerak ke ruangan yang lain. Sebaliknya, bila ia berdiri dengan tegang, maka segera sentuh pundaknya, dan katakan dengan lembut, ”Ayo duduk dulu, mama mau dengar pendapatmu lebih jelas lagi.”

Gerakan tubuh ini dipercaya bisa meredakan gejolak emosional dan bisa membuka pikirannya yang terkunci. Akan lebih baik lagi bila ia didudukkan dekat dengan cermin, sehingga sepintas lalu ia bisa melihat ekspresi dirinya sendiri ketika sedang emosional. Dengan melihat dirinya sendiri di cermin diharapkan bisa menjadi pengontrol agar tidak berperilaku berlebihan.

”Setujui” Pendapatnya
Strategi menghadapi remaja yang keras kepala, sebetulnya bukan berarti untuk mengalahkan pendapat mereka, karena sebagai orang tua, kita memang tidak selalu benar, dan pendapat anak pun belum tentu salah.

Yang perlu kita upayakan adalah memperbaiki karakter agar tidak terlalu kaku dan bisa membuka diri terhadap pendapat orang lain. Untuk itu kita perlu melakukan persuasi dengan mengonsentrasikan pikiran kita pada pendapat yang diucapkannya. Cobalah untuk memahami latar belakang mengapa ia berpendapat demikian.

Tunjukkan bahwa pendapatnya cukup masuk akal dan ajak untuk mengurai hal-hal positif dan negatif dari pendapatnya tersebut. Setelah dia merasa bahwa pendapatnya didengar, baru kita bisa memberi informasi tambahan agar anak bisa melihat sudut pandang yang berbeda dengan emosi yang nyaman.

Tidak ada salahnya, kita tunjukkan bahwa sebagai orang tua kita juga pernah ”mendengar” dan ”menyetujui” pendapatnya. ”Oh ya, masih ingat kejadian sebulan yang lalu? Mama setuju dengan pendapatmu tentang renovasi gudang belakang itu. Idemu bagus, mama baru menyadarinya sekarang.” Anak perlu mendapat contoh langsung bahwa mendengar dan menyetujui pendapat orang lain bukanlah hal yang tabu dan memalukan. (*)

Cincin Kawin

Oleh: N. Syamsuddin Ch. Haesy


Jurnal Nasional, 8 November 2009

JARI manis gadis molek bermata cerdas itu, nampak indah dan ‘berkilau‘�, ketika usai ijab kabul, dalam peristiwa akad nikah, sang suami memasukkan cincin ke dalamnya. Entah bila, cincin menjadi bagian dari tradisi upacara pernikahan? Jelasnya, pada setiap terjadi upacara pernikahan, selalu saja terjadi peristiwa saling mengenakan cincin di jari manis sang pengantin.


Indahnya jemari yang mengenakan cincin aneka bentuk, termasuk yang bertatah berlian atau permata, dengan nama suami dan isteri di sebaliknya, tentu dimaksudkan untuk mengabadikan keindahan itu sepanjang masa. Hingga kematian memisahkan keduanya. Banyak orang menduga-duga dengan pikirannya sendiri, cincin kawin, sekaligus sebagai pengingat, bahwa sang gadis ataupun sang jaka sudah beristeri atau bersuami, sehingga tak ada lagi orang lain yang berhak memasangkan cincin kawin di jari manis keduanya.


Kecuali, tentu, bila mereka berpisah.Hampir setiap calon pengantin, bahkan secarea khusus memilih desain yang paling pas dan cocok di hati mereka. Pada ketika mereka menentukan pilihan cincin terbaik, boleh jadi keduanya memandang sepasang cincin itu menjadi pengikat sepasang hati mereka. Karenanya, tak jarang, suami atau isteri menjadi panik begitu rupa, ketika cincin kawinnya raib, entah di mana.


Apapun alasan yang melatari pemilihan dan pengenaan cincin kawin di jari manis pengantin mempunyai tujuan yang baik. Karena pada dasarnya, setiap pasangan lelaki dan perempuan yang berjodoh dan diperjodohkan, boleh berharap, pernikahan mereka langgeng dan abadi selamanya. Bahkan mungkin sampai dunia ‘“ akhirat.


Nah, dari sudut pandang itu, semestinya cincin kawin mengandung makna yang sangat besar. Tidak hanya sebagai pengikat atau pertanda bahwa orang yang mengenakannya sudah beristeri atau bersuami. Melainkan, jauh lebih dalam lagi, yaitu: sebagai isyarat penguat bagi keduanya untuk tak pernah henti mewujudkan harmoni hubungan mereka sebagai suami isteri.


Apapun situasi yang dihadapi dalam menjalani kehidupan rumah tangga, pahit atau manis, harmonitas rumah tangga mesti menjadi tujuan. Lantas, keduanya mesti berjuang memeliharanya dengan baik. Mulai dari membangun pengertian-pengertian yang beranjak dari ekuitas dan ekualitas hidup antar pribadi yang berbeda, sampai kepada beragam upaya untuk menerima realitas hidup yang tidak selalu menyenangkan. Realitas hidup yang dalam banyak hal mesti diterima apa adanya.


Limbung laku manusia dalam menghadapi dinamika kehidupan, ketika dapat menerima realitas hidup dengan sepenuh hati. Penuh syukur dan keikhlasan, tentu akan berbuah kebaikan dan kebajikan. Karena akhirnya, harmonitas pasangan suami isteri, dalam banyak hal ditentukan oleh kesadaran memperlakukan realitas kehidupan sebagai fakta yang ada dan menyertai kehidupan manusia.


Ada kalanya, pasangan suami isteri harus menerima realitas hidup sebagai bagian dari dinamika berumah tangga. Namun, seringkali mereka harus menerimanya sebagai tantangan yang memberi peluang untuk menjadikan kehidupan rumah tangga dan keluarga lebih berkualitas lagi. Dari sudut pandang inilah, cincin kawin tak lagi hanya diperlakukan sebagai asesoris keindahan. Melainkan sebagai bagian dari early warning system kebersamaan dalam harmoni, untuk menghadapi berbagai tantangan kehidupan, yang sewaktu-waktu datang laksana badai, dan kemudian mengguncangkan rumah tangga.


Ya,... setiap kali menyaksikan sepasang pengantin memasangkan cincin kawin di jari manis mereka, saya selalu bergumam dalam hati: semoga apa yang mereka kenakan itu, mereka pahami hakekat nya. Lantas keduanya mampu menjadikan cincin kawin sebagai salah satu tools dalam mewujudkan kiat dan siasat yang baik memelihara harmoni keluarga. Insya Allah. (*)